mw bukti?!!
Suatu pagi di bandar lampung, kami menjemput seseorang di bandara. Orang itu sudah tua, kisaran 60 tahun. Sebut saja si bapak.
Si bapak adalah pengusaha asal singapura, dengan logat bicara gaya melayu, english, (atau singlish?) beliau menceritakan pengalaman2 hidupnya kepada kami yang masih muda. Mulai dari pengalaman bisnis, spiritual, keluarga, bahkan percintaan hehehe..
"Your country is so rich!"
Ah biasa banget kan denger kata2 begitu. Tapi tunggu dulu..
"Indonesia doesnt need d world, but d world need Indonesia"
"Everything can be found here in Indonesia, u dont need d world"
"Mudah saja, Indonesia paru2 dunia. Tebang saja hutan di Kalimantan, dunia pasti kiamat. Dunia yang butuh Indonesia!"
"Singapore is nothing, we cant be rich without Indonesia. 500.000 orang Indonesia berlibur ke Singapura setiap bulan. Bisa terbayang uang yang masuk ke kami? apartemen2 dan condo terbaru kami yang membeli pun orang2 Indonesia, ga peduli harga yang selangit, laku keras. Lihatlah rumah sakit kami, orang Indonesia semua yang berobat."
"Kalian tahu bagaimana kalapnya pemerintah kami ketika asap hutan Indonesia masuk? ya benar2 panik. sangat berasa, we are nothing."
"Kalian ga tau kan klo Agustus kemarin dunia krisis beras. termasuk di Singapura dan Malaysia? kalian di Indonesia dengan mudah dapat beras"
"Lihatlah negara kalian, air bersih dimana2.. lihatlah negara kami, air bersih pun kami beli dari Malaysia. Saya pernah ke Kalimantan, bahkan pasir pun mengandung permata. Terlihat glitter kalo ada matahari bersinar. Petani disana menjual Rp3.000/kg ke sebuah pabrik China. Dan si pabrik menjualnya kembali seharga Rp 30.000/kg. Saya melihatnya sendiri"
"Kalian sadar tidak klo negara2 lain selalu takut meng-embargo Indonesia? Ya, karena negara kalian memiliki segalanya. Mereka takut klo kalian menjadi mandiri, makanya tidak di embargo. Harusnya KALIANLAH YANG MENG-EMBARGO DIRI KALIAN SENDIRI. Beli lah dari petani2 kita sendiri, beli lah tekstil garmen dari pabrik2 sendiri. Tak perlu kalian impor klo bisa produksi sendiri."
"Jika kalian bisa mandiri, bisa MENG-EMBARGO DIRI SENDIRI, Indonesia will rules the world.."
Suatu pagi di bandar lampung, kami menjemput seseorang di bandara. Orang itu sudah tua, kisaran 60 tahun. Sebut saja si bapak.
Si bapak adalah pengusaha asal singapura, dengan logat bicara gaya melayu, english, (atau singlish?) beliau menceritakan pengalaman2 hidupnya kepada kami yang masih muda. Mulai dari pengalaman bisnis, spiritual, keluarga, bahkan percintaan hehehe..
"Your country is so rich!"
Ah biasa banget kan denger kata2 begitu. Tapi tunggu dulu..
"Indonesia doesnt need d world, but d world need Indonesia"
"Everything can be found here in Indonesia, u dont need d world"
"Mudah saja, Indonesia paru2 dunia. Tebang saja hutan di Kalimantan, dunia pasti kiamat. Dunia yang butuh Indonesia!"
"Singapore is nothing, we cant be rich without Indonesia. 500.000 orang Indonesia berlibur ke Singapura setiap bulan. Bisa terbayang uang yang masuk ke kami? apartemen2 dan condo terbaru kami yang membeli pun orang2 Indonesia, ga peduli harga yang selangit, laku keras. Lihatlah rumah sakit kami, orang Indonesia semua yang berobat."
"Kalian tahu bagaimana kalapnya pemerintah kami ketika asap hutan Indonesia masuk? ya benar2 panik. sangat berasa, we are nothing."
"Kalian ga tau kan klo Agustus kemarin dunia krisis beras. termasuk di Singapura dan Malaysia? kalian di Indonesia dengan mudah dapat beras"
"Lihatlah negara kalian, air bersih dimana2.. lihatlah negara kami, air bersih pun kami beli dari Malaysia. Saya pernah ke Kalimantan, bahkan pasir pun mengandung permata. Terlihat glitter kalo ada matahari bersinar. Petani disana menjual Rp3.000/kg ke sebuah pabrik China. Dan si pabrik menjualnya kembali seharga Rp 30.000/kg. Saya melihatnya sendiri"
"Kalian sadar tidak klo negara2 lain selalu takut meng-embargo Indonesia? Ya, karena negara kalian memiliki segalanya. Mereka takut klo kalian menjadi mandiri, makanya tidak di embargo. Harusnya KALIANLAH YANG MENG-EMBARGO DIRI KALIAN SENDIRI. Beli lah dari petani2 kita sendiri, beli lah tekstil garmen dari pabrik2 sendiri. Tak perlu kalian impor klo bisa produksi sendiri."
"Jika kalian bisa mandiri, bisa MENG-EMBARGO DIRI SENDIRI, Indonesia will rules the world.."
kredit : briess
Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI: musuh abadi Orde Baru.
Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso-orang yang telah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai-ketimbang Tan. Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan. Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat nama salah satunya Tan- apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap.
Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu berbunyi: “…jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.”
Politik memang kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup. Ketika Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 36 tahun lalu, mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, guru-guru sekolah itu terkejut. Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) itu pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin berselancar di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudian Poeze datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan, tersembunyi di balik lemari sekolah.
Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia.
Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.
W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk “Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain menulis, “Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri…. Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”
Di seputar Proklamasi, Tan menorehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan “masih sebatas catatan di atas kertas”. Tan menulis aksi itu “uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan”.
Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar. Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri.
Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.
Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer-dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.
Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. “Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan pemuda.
Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu.
Tanpa itu, nonsens.
Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. “Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.
Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, “Di depan Tuhan saya seorang muslim” (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.
Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini, ketika negeri ini genap 63 tahun, cobalah melawan lupa yang lahir dari aneka keputusan politik itu, dan coba mengungkai kembali riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, dan lainnya.
Sungguh besar jasa beliau terhadap pergerakan revolusi di Indonesia. Pandangannya tentang Indonesia bersatu dan sebagai tanah tumpah darah begitu kental mengalir di darahnya. Sayang nama beliau terlupakan oleh keadaan yang ada, padahal beliau adalah orang yang sangat vital bagi pergerakan revolusi Indonesia. Ajaran beliau yang masih relevan dilaksanakan sekarang adalah jangan pernah melakukan diplomasi dengan penjajah. kita harus merdeka seratus persen. merdeka dari kolonialisme dan imperialisme modern. Program-program Tan Malaka saat jaman kemerdekaan dulu saya rasa masih relevan untuk dijalankan dengan kondisi yang berbeda.Program-program itu adalah antara lain :
1.Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100%
2.Melucuti tentara Jepang
3.Menyita aset perkebunan milik belanda
4.Menasionalisasi industri milik asing yang beroperasi di Indonesia
Sekarang adalah bagaimana sikap kita belajar dari Sejarah yang ada. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya serta belajar dari kesalahan masa lampau. Merdekakan diri kita dari belenggu kebodohan, kemiskinan serta imperialisme modern serta berusahalah menjadi bermanfaat demi keluarga, negara, bangsa dan juga Agama.
Selamat Hari Sumpah Pemuda.....!!!
kredit: wiki padangkini franova